Dalam kurun waktu 2 bulan terakhir ini yakni di bulan April-Mei, kita telah dihebohkan dengan munculnya kembali aksi terorisme yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Aksi teror ini terjadi dalam kurun waktu yang saling berdekatan antara aksi teror pertama dengan teror selanjutnya yaitu terjadi di kota Jakarta, Surabaya, Sidoarjo dan beberapa kota lainnya. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan yang berkepanjangan di kalangan masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, terutama bagi yang terkena aksi teror berupa kerusuhan dan bom bunuh diri. Aksi teror pertama terjadi di Jakarta tepatnya di Mako Brimob Kelapa Dua dengan menimbulkan kerusuhan yang dilakukan oleh para pelaku teror ini, menyebabkan banyak korban menjadi sandra bahkan menimbulkan beberapa korban jiwa terutama dari anggota Brimob.

Yang menjadi pertanyaan adalah “Mengapa keamanan yang seketat dan sedetail di Mako Brimob ini masih bisa ditembus oleh para pelaku terorisme?’’, karena bisa dipastikan setiap orang yang ingin masuk dan berkunjung ke dalam akan mendapatkan serangkaian pemeriksaan yang ketat dan detail oleh para anggota Brimob. Tentu hal ini menjadi kecolongan yang besar bagi pemimpin beserta anggota di Mako Brimob dalam hal keamanan, sehingga mengakibatkan adanya penyanderaan oleh para teroris bahkan sampai ada beberapa korban yang meninggal dunia.

Apakah ada pihak dari dalam Mako Brimob yang ikut serta membantu para teroris dalam melancarkan aksi terornya?’’. Selain di Ibukota Jakarta, aksi terorisme ini juga telah terjadi di Jawa Timur yakni di Kota Surabaya dan Sidoarjo. Para terorisme ini menyerang beberapa gereja yang ada di Kota Surabaya dan Rusun di Sidoarjo melakukan aksi terornya dengan bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh para kelompok teror yakni Jamaah Ansharut Daulah, sehingga mengakibatkan banyak korban luka-luka dan tidak sedikit juga yang meninggal.

Adapun kaitannya aksi terorisme ini dengan Ilmu Administrasi Publik yakni terdapat pada Undang-Undang mengenai aksi terorisme yang terbaru dan telah ditetapkan dan disahkan oleh DPR pada hari Jumat (25/05/18). Terdapat beberapa poin penting yang tercantum dalam Undang-Undang terbaru ini terkait aksi terorisme di Indonesia yaitu pencegahan, penindakan dan pemulihan korban atas terjadinya aksi terorisme yang terjadi. Salah satu isi dari beberapa poin tersebut adalah bisa ikut andilnya pihak TNI yang sebelumnya hanya melibatkan pihak kepolisian, hal ini tentu menjadikan dukungan pertahanan dalam menjaga keamanan dan ketahanan bagi Negara Indonesia menjadi berlapis guna mencegah aksi terorisme.

Hal lain yang menjadi perhatian bagi masyarakat tentu peran pemerintah dalam memulihkan korban aksi terorisme. Dalam hal ini pemerintah telah hadir bagi para saksi dan korban terorisme, bahwa korban tindak pidana terorisme memiliki hak untuk mendapatkan bantuan, baik medis, rehabilitasi, psikologis maupun psikososial. Tidak hanya itu, korban juga berhak mengajukan kompensasi kepada negara atas derita yang dialami. Kepada saksi, ahli dan pelapor dalam tindak pidana terorisme juga diberikan perlindugan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Semua hal itu diberikan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap korban. Hak korban terorisme tersebut diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang berisi beberapa poin, yaitu Bantuan Medis, Rehabilitasi Psikologis, Rehabilitasi Psikososial, Kompensasi dan Restusi.

Ditulis oleh : Faris Musyafak